Kisah Sedih Anak yang Bekerja Sebagai Tukang Parkir
Kisah Sedih Seorang Anak yang Bekerja Sebagai Tukang Parkir
Bak air mengalir, dia menceritakan kisah hidupnya kepadaku. Tanpa ragu dia memulai pembicaraan. "Bu, saya orang baru di sini, saya ke sini dibawa sama paman saya, dia juga bekerja sebagai tukang parkir di depan kedai sana, aku baru makan lho Bu, satu hari ini aku baru makan sekali ini. Perutku rasanya sangat lapar sekali,' katanya kepadaku.
Mendengar hal ini aku yang tadinya tidak bicara apa-apa hanya jadi pendengar setia langsung mengangkat kepala dan melihat kepadanya. Hatiku mulai bergetar dan air mataku terpaksa aku tahan agar tak jatuh.
"Nak, emang kamu dari mana, orang tuamu di mana, terus kenapa kamu tidak sekolah, dan kenapa juga kamu baru makan."
Pertanyaan yang bertubi-tubi langsung keluar dari mulutku yang tak bisa lagi aku tahan seolah aku seorang detektif yang ingin tahu segalanya. Karena anak itu badannya kecil, masih sebaya anak SMP.
"Kedua orang tuaku telah berpisah Bu, aku hanya tamat SMP dan tak bisa lagi melanjutkan sekolah, karena ayahku tak sanggup menyekolahkan kami berdua dengan adikku. Semenjak ibu dan ayahku berpisah, aku dan adikku ikut ayahku. Ayahku kerjanya hanya serabutan bu, kadang dapat uang kadang tidak. Sedangkan ibuku tak tahu lagi rimbanya, entah saat ini dia ada di mana."
"Aku jadi tukang parkir di sana ikut pamanku namun aku tidak tinggal bersamanya. Aku segan Bu, karena dia juga belum punya rumah sendiri. Aku pagi-pagi sudah bangun dan sudah berangkat ke depan sini untuk jadi tukang parkir. Aku takut dia terganggu samaku." Katanya panjang lebar kepadaku.
"Terus, sekarang kamua tinggal di mana, kenapa kamu tidak makan dari pagi. Kenapa perutmu kamu tahankan, apa kamu tidak dapat uang buat beli makan?."
"Ada Bu, uangnya tapi tidak seberapa, sementara aku harus setor lima puluh ribu setiap hari kepada pamanku, kata pamanku uang itu juga bukan buat dia tapi buat setoran juga sama bos parkir kami yang mengurus semua parkiran di sini."
"Terus kalau kamu tidak tinggal di rumah pamanmu, lalu kamu tinggal di mana?."
"Aku tinggal di mushollah di belakang sana Bu, aku non muslim lho Bu," katanya.
"Lah kalau kamu non muslim kenapa tinggal di mushollah, apa di sana ada kamarnya? Saya merasa nyaman aja Bu, soalnya saya di sana juga sama sahabat saya. Dia seorang pengamen. Kami bukan tidur di dalam tapi kami tidur di emperan mushollah itu."
Ya Allah teriris lagi hatiku. "Apa kamu bilang, kamu tinggal di emperan? Apa kamu nggak kedinginan?."
"Nggak Bu, aku punya selimut. Aku ada kain sarung," katanya kepadaku. Lama aku terdiam sambil menelan air mataku. Namun dalam kerapuhanku aku tak ingin dia ikut rapuh. Seolah aku orang yang sangat kuat lalu kucoba menguatkan anak itu.
"Nak, kamu laki-laki, kamu harus kuat. Tidak ada orang sukses di dunia ini yang berasal dari orang kaya, walau ada namun sedikit sekali. Rasa sakit yang Tuhan berikan kepada kita adalah sebuah ujian untuk menuju masa depan yang baik. Karena itu sayangi dirimu, jangan kamu berharap ibumu yang akan menyayangimu, atau ayahmu yang akan menyayangimu, bahkan orang lain yang akan menyayangimu. Semua itu mustahil, walau mungkin ada namun jangan terlalu berharap."
"Sayangi dirimu, jaga kesehatanmu, jangan lagi kamu tahankan tidak makan. Nanti kalau kamu sakit siapa yang akan memgurusmu. Di sini kamu tidak punya saudara dekat, adapun pamanmu, itupun saudara jauh. Dia bawa kamu ke sini namun dia biarkan kamu tidur di emperan. Itu namanya bukan saudara."
"Ke depannya, kalau kamu lapar datanglah ke warung ibu ini ya, kalau uangmu tidak ada makan aja dulu, nanti kalau uangmu sudah ada baru kamu bayar, kataku panjang lebar kepadanya.
"Iya Bu, makasih banyak Bu. Itu temanku sudah datang jemput aku, aku permisi ya Bu kami istirahat pulang dulu," katanya padaku.
Sahabat, walau dia bukan anakku, dia juga bukan saudaraku, tapi melihatnya seperti ini hatiku sangat iba. Air mataku tak bisa aku sembunyikan. Setelah dia pergi aku menangis di kedai misoku.
Aku terbayang beginilah akibat dari perceraian orang tua itu. Inilah salah satu imbasnya kepada anak-anak kita. Aku sampai membayangkan bagaimana nasib anak-anakku kalau hal ini terjadi padaku. Mungkin saja akan sama seperti anak ini.
Ini adalah sebuah pelajaran bagi kita semua, bahwa jika terjadi perpisahan pada kedua orang tua yang paling menderita itu adalah anak-anaknya. Apalagi kalau hidup kedua orang tua yang berpisah itu jauh dari kata cukup.
Semoga saja anak ini kuat dalam menjalani hidupnya, dan semoga dia selalu sehat dan bisa bekerja setiap hari dengan baik. Semoga saja nanti anak ini jadi anak yang baik dan bernasib baik.
Saya juga sudah berpesan kepadanya, agar dia tidak terlibat pergaulan yang akan merusak dirinya, seperti narkoba, mabuk-mabukan, judi, pergaulan bebas dan lain sebagainya. Saya sudah bilang hanya dialah yang bisa menjaga dirinya, apalagi ayah dan ibunya sudah tidak bersamanya. Jadi dia harus betul-betul jadi anak yang baik jika ingin masa depannya baik. Dia harus berjalan lurus jika tidak mau dapat masalah.
Demikianlah kisah yang bisa saya ceritakan dalam tulisan ini. Sedih memang tapi inilah hidup yang memaksa anak ini harus berjuang melawan dinginnya malam yang bisa saja menusuk sampai ke tulang.
Komentar
Posting Komentar